Mukaddimah
Posted By:
Unknown
on 09.11
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Arus globalisasi yang menghempas hampir semua bagian dunia dari hari ke hari semakin terasa. Meskipun harus diakui bahwa di satu sisi globalisasi membawa dampak positif bagi kehidupan manusia, namun di sisi lain tak dapat dipungkiri arus ini melahirkan nestapa bagi kebudayaaan dan peradaban manusia.
Salah satu dampak positif globalisasi ialah berkembangnya teknologi informasi dan transportasi. Dua ragam teknologi ini telah mampu membuat bumi manusia yang begitu luas ini menjadi tak lebih dari sekedar sebuah ‘desa’ global, yang begitu mudah dapat dijangkau oleh manusia dari ujung dunia satu ke ujung dunia lain. Jika tempo doeloe seseorang ingin berhubungan dari satu kota ke kota lain, maka dia akan menggunakan surat pos yang bisa memakan waktu berhari-hari. Sekarang, dengan menggunakan telefon genggam orang itu bisa berhubungan dengan orang lain di kota berbeda dalam sekejap. Jika pada zaman itu waktu yang diperlukan untuk melakukan ibadah haji bisa mencapai berminggu-minggu, maka dewasa ini sudah bisa dipersingkat hingga beberapa jam saja.
Kehidupan keluarga adalah salah satu pranata sosial yang terpengaruh oleh globalisasi. Alvin Toffler, seorang futurolog, beberapa dasawarsa yang lalu pernah meramalkan bahwa pada suatu zaman nanti rumah tangga manusia akan diwarnai oleh ‘electronic cottage’, kamar elektronik. Ternyata dewasa ini ramalan futorolog itu telah terbukti. Dengan semakin meningkatnya kemajuan materi manusia, khususnya di negara-negara kaya, maka rumah-rumah manusia cenderung berubah menjadi rumah-rumah ‘elektronik’. Setiap anak mempunyai kamar sendiri; demikian pula orangtua mereka. Di dalam kamar ‘elektronik’ itu setiap orang asyik dengan dunianya sendiri --- berinternet, bermain game, berhape, nonton tivi atau dengan musik sesuai dengan seleranya masing-masing. Akibatnya terciptalah jarak antara anak yang satu dengan anak yang lain. Lebih dari itu, antara anak dan orangtuanya sendiri. Kehidupan individualistis (nafsi-nafsi) pun terjadi. Individualisme pun merebak ke mana-mana. Tidak hanya ke kehidupan keluarga, tetapi juga ke lingkup kehidupan masyarakat lainnya.
Individualisme tidak berjalan sendiri. Dalam arus globalisasi materialisme juga menderas. Manusia modern cenderung mejadi materialistis. Mendewa-dewakan materi secara berlebihan. Nilai manusia diukur dengan sebanyak apa materi yang dimilikinya. Berapa banyak rumahnya, berapa banyak mobil mewahnya dan berapa banyak benda-benda berharga lain yang dimilikinya. Kerakusan pun menjadi-jadi. Korupsi tumbuh subuh lantaran kencintaan terhadap materi amat berlebihan. Etika dan moral tertinggal jauh di belakang. Dilupakan! Inilah sebuah tragedi kemanusiaan. Manusia telah menjadi budak bagi hawa nafsu kebendaan.
Seiring dengan individualisme dan materialisme, berkembangbiak pula sekularisme, paham yang memisahkan urusan kehidupan manusia dengan agama. Di banyak kantor, stasiun, pasar dan tempat-tempat umum manusia sibuk dengan urusan keduniawiaan. Tatkala adzan berkumandang, tak banyak orang menyahut panggilan Allah SWT untuk segera pergi ke masjid terdekat demi meraih kemenangan, sebagaimana yang dijanjikan-NYA.
Dalam konteks seperti yang tergambar di atas inilah keberadaan pesantren amat diperlukan. Peran pesantren sebagai pranata sosial keagamaan terasa semakin penting dalam rangka menciptakan anak bangsa yang bermoral, terampil, dan berkarakter. Hal ini bisa dipahami, karena kebudayaan dan peradaban suatu bangsa hanya bisa berkembang bila didasari dengan landasan moral yang kuat. Sementara moral yang kuat hanya bisa dibina melalui pendidikan agama yang mantap; dan pesantren merupakan salah satu medium untuk meraih cita-cita luhur itu.
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ